Evaluasi Pemilu 2014
Tekan Konflik: Rampingkan TPS, Perkuat Rekrutmen KPPS
Jember (beritajatim.com) - Pemilu 2014 di Kabupaten Jember, Jawa Timur, diwarnai dengan tuntutan penghitungan suara ulang, pengaduan ke Mahkamah Konstitusi, hingga kekeliruan rekapitulasi suara di tingkat tempat pemungutan suara. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu perlu dilakukan menyeluruh.
Sejumlah persoalan yang dihadapi di Jember selama pemilu legislatif lalu muncul dari tempat pemungutan suara. Sejumlah kekeliruan personil kelompok kerja pemungutan suara (KPPS) menyebabkan munculnya gugatan terhadap penyelenggara pemilu dan dilakukan penghitungan ulang. Sebagaimana terjadi di salah satu tempat pemungutan suara di Kecamatan Patrang, anggota KPPS lupa memasukkan 17 suara Partai Persatuan Pembangunan saat rekapitulasi.
Dahlia, salah satu anggota Panitia Pengawas Pemilu Jember, mengatakan, munculnya persoalan dipicu kualitas atau komitmen petugas di KPPS. "Ada KPPS yang kurang memahami cara meng-input data suara," katanya.
Ketua Panwaslu Dima Ahyar menilai, perbedaan cara penghitungan pemilu kali ini dengan pemilu sebelumnya membuat tidak semua anggota KPPS memahami, terutama yang belum berpengalaman. Alhasil rekapitulasi berjalan lama dan terjadi beberapa kali salah hitung tak disengaja.
"Mungkin bimbingan teknis tidak optimal atau sumber daya manusianya yang tidak mampu memahami dan menangkap apa yang dijelaskan dalam bimtek," kata Ahyar. Belum lagi penyelenggara tingkat bawah secara psikis tertekan dengan proses penghitungan suara yang berlarut-larut hingga tengah malam. Ini mempengaruhi tingkat ketelitian.
Oleh sebab itu, Ahyar mengusulkan seleksi sumber daya petugas KPPS lebih ketat lagi. Kedua, sistem tata cara dan format penghitungan suara dibuat lebih sederhana dan mudah, dengan berbasis teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi akan mempermudah deteksi awal jika terjadi kekeliruan.
Namun ada kalanya itu bukan hanya masalah teknis, tapi juga mentalitas penyelenggara tingkat bawah dan calon legislator peserta pemilu. Semuanya menjadi kombinasi yang membuat timbulnya persoalan dalam pelaksanaan pemilu, sebagaimana dikemukakan Ketua Komisi A Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Jember, Jufriyadi. "Ini ibarat minyak ketemu api," katanya.
"Penyebab paling mengerikan adalah mental. Mental kita tidak siap dengan sistem pemilu suara terbanyak. Sistem ini menyebabkan seorang yang bukan kader partai bisa dengan mudah menjadi anggota DPR. Karena banyaknya kader di luar partai yang berlomba plus kader murni partai yang khawatir tidak terpilih, maka sistem suara terbanyak digunakan memanipulasi pemilu. Ironisnya hal tersebut disambut oleh beberapa oknum penyelenggara pemilu yang melihat peluang untuk memperoleh sesuatu," jelas Jufriyadi.
Anang Murwanto, Ketua Komisi B Bidang Perekonomian dari Fraksi Demokrat, satu suara dengan Jufriyadi. Menurutnya, sumber daya manusia penyelenggara di tingkat bawah masih lemah dalam memahami dan melaksanakan pemilu, khususnya dalam hal administratif yang krusial karena terkait perolehan suara.
Peran penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat bawah, masih rawan terhadap godaan politik dari para caleg. "Ini karena sistem rekrutmen dan pengawasaannya masih lemah. Terlebih masyarakat cenderung pragmatis dalam partisipasi pemilu sehingga negara terancam dipimpin oleh orang-orang yang berduit saja, terlepas dari kapasitasnya," kata Anang.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Jember Ketty Tri Setyorini meminta agar penyelenggara tingkat bawah tak selalu disalahkan. "Jangan menyalahkan penyelenggara dan sebagainya. Sistemnya harus dievaluasi," kata alumnus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ini.
Setyorini justru menilai, terlalu banyaknya tempat pemungutan suara menjadi salah satu pangkal persoalan. "Kalau TPS banyak, kita butuh penyelenggara banyak. Masalahnya, belum terjamin ada pemerataan SDM," katanya.
KPU sempat berharap pegawai negeri sipil menjadi anggota KPPS. Namun ternyata PNS yang terlibat sebagai penyelenggara harus meminta izin atasan. Di lain pihak, bukan hanya anggota KPPS yang secara kualifikasi belum memiliki kemampuan merata. Saksi partai pun juga demikian. Ada kalanya di lapangan saksi partai tak memahami hak dan kewajiban mereka.
Setyorini mengusulkan perampingan jumlah TPS. Penempatan TPS dikonsentrasikan di balai desa atau di dusun-dusun. Di satu sisi, konsetrasi TPS memang dikhawatirkan memicu kerawanan, karena ada penumpukan massa. Selain itu, waktu pencoblosan diperpanjang.
Namun di lain pihak, menurut Setyorini, dengan sedikitnya TPS maka pengawasan akan lebih ketat dan melibatkan banyak orang. Partai politik dan bahkan caleg bisa menyediakan saksi dalam jumlah cukup dan kemampuan yang relatif lebih merata. Ini berbeda dengan kondisi saat ini, di mana di Jember ada 4.808 TPS. Tidak semua partai peserta pemilu menempatkan saksi secara merata.
Ide Setyroini ini bukannya tanpa dasar. Ia meniru pemilu kepala desa yang bisa sukses dengan TPS terkonsentrasi di balai desa. Jika memang itu tak bisa diterapkan di balai desa, bisa dikonsentrasikan di padukuhan "Satu desa rata-rata 3-4 dukuh. Waktu harus diperpanjang. Tapi ketika ada perpanjangan, kan banyak orang duduk di situ. Kalau perlu caleg harus punya saksi sendiri di dukuh itu," katanya.
Ahyar mengatakan, penyederhanaan jumlah TPS harus diikuti perbaikan SDM. "Saya kira selama SDM tak sungguh-sungguh diperhatkan dan diseleksi dengan baik, sistem apapun membuka lebar peluang terjadinya kesalahan," katanya.
Ahyar sepakat, jika PNS diangkat menjadi KPPS. "Saya kira karena pemilu kerja kita bersama. Yang paling utama tujuannya. Proses dan pelaksanaan berjalan baik dan benar. Kalau memang (mencari penyelenggara pemilu) di luar PNS masih belum memungkinkan atau sulit didapatkan, pemerintah bisa membantu dengan menyediakan tenaga untuk membantu dan memudahkan proses itu. Toh PNS harus netral," katanya. [wir]
Rating: 100% based on 975 ratings. 91 user reviews.

