Supporters Not Customers. Pendukung sepak bola bukan pelanggan biasa. Spanduk itu mudah ditemui di Stadion Anfield, markas Liverpool FC, bersama spanduk 'Let Me Tell You Story of Poor Boy' dan 'Football is Nothing Without Fans'.
Spanduk 'Supporters Not Customers' bahkan sempat diambil dan disingkirkan para pengawas penonton, saat pertandingan Liverpool melawan Hull City, Oktober 2014 silam. Jika spanduk adalah alat perlawanan dan protes, penyingkiran itu menunjukkan betapa benarnya pesan di dalamnya.
'Supporters Not Customers' adalah penjelasan sesungguhnya bagaimana klub sepak bola lebih dari sekadar tontonan dan hiburan di kala senggang. Klub sepak bola tak bisa diperlakukan seperti film di bioskop atau restoran.
Jim Keoghan, penulis buku Punk Football: The Rise of Fan Ownership in English Football, mengingatkan: 'If a film is crap, we don't watch it again. If we go out to a restaurant and the food is indigestible slop then there'll be no return visit'.
Menurut Keoghan, suporter sepak bola memiliki komitmen untuk banyak hal: tak hanya komitmen untuk menang, tapi juga untuk kecewa berkali-kali. "Football supporters commit to disappoinment, pay to watch crap and forego the opportunity to enjoy happiness elsewhere. And they do this year-in-year-out, repeating the same cycle like an imprisoned zoo animal," katanya.
Komitmen ini seumur hidup. Loyalitas tak terbatas. Tak heran jika suporter sepak bola melakukan hal-hal yang tak akan dilakukan penggemar film untuk menunjukkan eksistensi mereka. Salah satunya adalah aksi boikot, dan kita bisa menatap fenomena ini di tiga negara dalam tiga kasus berbeda: Inggris, Italia, dan Indonesia.
Inggris: #BoycottHull
Mahalnya harga tiket pertandingan memang menjadi isu di kalangan suporter Liga Primer Inggris saat ini. Kopites, sebutan pendukung Liverpool di tribun belakang gawang, sempat mengusung spanduk yang menunjukkan kenaikan signifikan harga tiket kandang di Anfield: mulai dari 4 poundsterling pada 1990, 24 pound pada 2000, dan 43 pound pada 2010.
Arsenal memiliki harga tiket termurah paling mahal di Inggris, yakni 97 pound, diikuti Chelsea (87 pound), Tottenham Hotspur (81 pound), West Ham United (75 pound), Queens Park Rangers (70 pound), Liverpool (59 pound), Manchester City (58 pound), Manchester United (58 pound), Newcastle United (52 pound), dan Southampton (52 pound). Kurs saat ini 1 pound kurang lebih setara Rp 20 ribu.
BBC melaporkan rata-rata harga tiket pertandingan termurah 207 klub mulai dari Liga Primer hingga Divisi III mencapai 21,49 pound atau sekitar Rp 418 ribu. Kenaikan tiket ini mencapai 13 persen, berlipat-lipat dari laju inflasi 1,2 persen dan peningkatan harga kebutuhan hidup 6,8 persen sejak 2011.
Bandingkan dengan Bayern Munchen, Borussia dortmund, Schalke, dan Bayern Leverkusen di Bundesliga yang menjual tiket termurah hanya 13 pound alias Rp 253 ribu.
Tak heran jika suporter Inggris mengeluh. "Ini tidak bisa diterima. Apalagi industri sepak bola menerima keuntungan besar," kata Ketua Federasi Suporter Sepak Bola Malcolm Clarke, merujuk pada hak siar sebesar 3,1 miliar pound yang diterima klub-klub profesional Inggris.
Jika melihat latar belakang mayoritas pendukung sepak bola Inggris yang identik dengan kelas pekerja, keluhan itu bisa dipahami. Selama dua abad terakhir sepak bola di akhir pekan adalah bagian dari hidup mereka, identitas sosial mereka. Mahalnya harga tiket membuat mereka makin tersingkir dari stadion.
Ironisnya (atau mungkin lucunya), kendati harga tiket makin mahal, stadion-stadion di Inggris tak pernah sepi penonton. Rata-rata penonton musim 2013-14 adalah yang terbanyak sejak 1949-50. Tentu saja, melihat kontradiksi ini, para elite di Liga Primer Inggris tak terlalu peduli dengan protes seperti di Anfield.
Namun 'Enough is Enough', demikian spanduk besar di tribun Kop Anfield. Cukup sudah. Para fans Liverpool berang saat tahu harga tiket pertandingan tandang melawan Hull City mencapai 50 pound.
Mereka pun merancang aksi boikot dengan mengosongkan tribun belakang gawang yang disediakan untuk suporter tim tamu, sebagai pesan bagi elite sepak bola Inggris bahwa suporter menolak jadi sapi perah. Kampanye di dunia maya ditebar dengan tagar #BoycottHull.
Mengosongkan tribun belakang tentu bukan hal mudah. Liverpool mendapat kuota sekitar dua ribu tiket. Jika para suporter Liverpool tidak menghabiskan kuota itu, maka tiket akan dijual ke penonton umum. Jika ini terjadi, berarti rencana boikot sama saja gagal.
Taktik dijalankan: mereka memborong tiket khusus anak-anak di bawah usia 10 tahun seharga 5 pound. Sebagian lagi membeli tiket untuk anak-anak dan remaja. Namun mereka tidak akan berangkat ke Hull yang berjarak 200 kilometer dari Liverpool, Selasa (28/4/2015) malam, dan memilih menyobek tiket yang sudah dibeli.
Aksi mengosongkan tribun yang dipelopori kelompok suporter Spirit of Shankly ini mendapat dukungan kelompok suporter klub lain, termasuk fans rival utama Liverpool: Manchester United. Pelatih Hull City Steve Bruce juga mendukung aksi boikot tersebut.
Italia: Masukkan Koin dan #SaveACMilan
Kejayaan AC Milan mendekati titik nadir. Tak hanya dalam urusan prestasi, tapi juga finansial. 'Bos Besar' Silvio Berlusconi tak sesakti dulu. Setelah turun dari kursi perdana menteri Italia dan tersandung skandal, ia tak ubahnya orang tua yang lemah dan sakit-sakitan. Kendali AC Milan dipegang sang anak, Barbara Berlusconi.
Jangan bayangkan AC Milan seperti masa keemasan tiga Belanda atau era saat ditangani Ancelotti yang sukses membawa trofi Piala Eropa. Serie A musim 2014-15 menjadi saksi betapa sulitnya Milan menembus zona Liga Eropa dan mendadak menjadi tim medioker.
Klasemen tak berbohong. Memasuki pekan 32, Milan tertahan di posisi 10 dengan mengantongi 43 angka, terpaut 30 angka dari Juventus di puncak klasemen. Dalam urusan finansial, Milan juga memburuk dan terpaksa melego bus tim.
Ultras, kelompok garis keras AC Milan, pun memutuskan mengosongkan tribun selatan belakang gawang Stadion San Siro saat klub itu melawan Cagliari, Maret 2015. Mereka juga mengampanyekan pesan protes untuk Berlusconi melalui spanduk besar bertuliskan 'Game Over' dan 'Insert Coin & #SaveAcMilan'.
Mereka menuntut Berlusconi lebih transparan dalam mengelola klub. Fans sudah memberikan pengorbanan: memperbarui tiket musiman, menabung untuk membeli jersey baru. Semua dilakukan agar klub tetap hidup. "Yang kami inginkan adalah kejelasan," demikian pernyataan resmi kelompok suporter AC Milan.
Bukan sekali ini suporter Milan memboikot pertandingan. Sebelumnya, Januari 2015, mereka juga mengampanyekan boikot saat laga kandang melawan Sassuolo, karena mahalnya harga tiket.
Indonesia: #SurabayaMelawan Awalnya adalah hari ini, 29 April, lima tahun lalu. Saat itu Persik Kediri dijadwalkan menjamu Persebaya Surabaya dalam laga lanjutan Liga Super Indonesia musim 2009-10.
Ini pertandingan menentukan. Jika menang, Persebaya akan mendapat tambahan tiga poin penting untuk selamat dari zona degradasi otomatis, karena masih bisa masuk zona play-off melawan peringkat empat klub Divisi Utama.
Persik tak memperoleh izin bertanding dari Kepolisian Resort Kota Kediri. Polisi khawatir dengan datangnya ribuan Bonek, pendukung Persebaya. Kendati antara suporter Kediri dan Surabaya tak memiliki sejarah rivalitas, polisi tak mau ambil risiko.
PSSI pun sesuai aturan menyatakan Persik kalah WO dan Persebaya mendapat tiga angka gratis. Selesai? Tidak. PSSI kemudian menganulir keputusannya itu dan memerintahkan pertandingan ulang di tempat netral di luar Kediri.
Persebaya Surabaya yang berada di bawah naungan PT Persebaya Indonesia pun patuh. Pertandingan ulang dijadwalkan di Jogjakarta. Namun lagi-lagi sebagai panitia pelaksana, Persik gagal menggelar laga itu karena tak mendapat izin keamanan. Persebaya yang sudah terlanjur hadir di Jogja pun urung bertanding.
Jika mengacu aturan, Persik seharusnya dinyatakan kalah WO. Namun PSSI memutuskan laga diulang lagi dan kali ini kembali ke Kediri.
Merasa dicurangi, ribuan Bonek pun bergerak menuju Stadion Brawijaya Kediri. Pertandingan pun kembali batal digelar. 7 Agustus 2010, PSSI memutuskan pertandingan digelar di Palembang.
Kali ini Persebaya menolak hadir. Saleh Ismail Mukadar, Komisaris PT Persebaya Indonesia, merasa klubnya dikerjai. Kebetulan, jika Persebaya gagal mendapat tiga poin dari Persik, maka yang berada di zona play-off adalah Pelita Jaya, klub yang selama ini dikelola Nirwan Bakrie, Wakil Ketua Umum PSSI saat itu.
Persebaya dinyatakan kalah WO dan terdegradasi ke Divisi Utama. Pelita Jaya pun melangsungkan laga play-off melawan Persiram Raja Ampat dan menang.
Kecewa, PT Persebaya Indonesia memutuskan menyeberang ke Liga Primer Indonesia yang diprakarsai Arifin Panigoro. PSSI yang diketuai Nurdin Halid lantas mengeluarkan surat mandat kepada Wisnu Wardhana untuk membentuk tim Persebaya yang berlaga di Divisi Utama. Wisnu membentuk tim dadakan dengan mengambil sebagian besar skuad Persikubar Kutai Barat.
Resmilah Persebaya di bawah PT Persebaya Indonesia berlaga di LPI dan Persebaya versi Wisnu Wardhana berlaga di Divisi Utama PT Liga Indonesia. Kepolisian Daerah Jawa Timur tak akan mengeluarkan izin pertandingan bagi Persebaya di LPI jika tak berganti nama.
Akhirnya, PT Persebaya Indonesia membubuhkan angka tahun kelahiran klub 1927 tanpa mengubah nama asli di akta notaris. Nama Persebaya 1927 hanya digunakan untuk mendapat izin pertandingan dari kepolisian.
Belakangan pada 2013, PSSI tak mengakui Persebaya di bawah PT Persebaya Indonesia, dan mengesahkan Persebaya di bawah naungan PT Mitra Muda Inti Berlian.
Keputusan PSSI ini memunculkan perlawanan dari Bonek. Sejak 2010, mereka sudah memboikot pertandingan Persebaya bentukan PSSI. Pertandingan Persebaya versi PSSI tak pernah dipenuhi penonton.
Aksi boikot dilanjutkan hingga saat ini, diikuti sejumlah aksi unjuk rasa besar-besaran. Dua tagar, yakni #SavePersebaya dan #SurabayaMelawan sempat menjadi topik utama di dunia maya. Intinya: mereka menuntut Persebaya di bawah naungan PT Persebaya Indonesia kembali diakui.
Terakhir, aksi unjuk rasa damai ribuan Bonek digelar di Jalan Embong Malang, Surabaya, 18 April 2015, tak jauh dari Hotel JW Marriot, tempat penyelenggaraan Kongres Luar Biasa PSSI.
Para Bonek ini tak hanya dari Surabaya, namun juga dari daerah lain seperti Jember, Jakarta, Jawa Tengah, dan kota-kota lain di Jawa Timur. Mereka tak memiliki struktur komando dan garis organisasi formal. "Bonek memang cair," kata Andie Kristiantono, salah satu Bonek.
Mengapa Bonek memilih melawan? Bukankah justru jika tak melawan, mereka masih akan menikmati pertandingan dari klub sepak bola yang memakai nama Persebaya, walau di bawah naungan badan hukum berbeda?
Kembali ke buku Keoghan, di sana disebutkan adagium klasik dunia suporter sepak bola: Anda bisa ganti pacar, ganti istri, atau ganti agama, namun tidak akan pernah berganti klub sepak bola yang didukung. Itulah yang terjadi di Surabaya.
Bagi kebanyakan suporter dan warga kota di mana pun, sepak bola adalah bagian dari akar identitas mereka. Mereka menjadikan klub sepak bola sebagai kecintaan yang terwariskan dari orang tua dan harus dipelihara kemurnian sejarahnya. Mereka dibesarkan dan tumbuh bersama klub sepak bola itu. Benang merah itu yang tersambung panjang, melintasi waktu, tapal batas negara, etnisitas, ras, dan agama. [wir]
Rating: 100% based on 975 ratings. 91 user reviews.